Jumat, 24 April 2015

TAKDIR

A.                PENGERTIAN TAKDIR
Yang dimaksud dengan istilah takdir adalah Qadar (Al-Qadar khairuhu wa syarruhu) atau Qadha’ dan Qadar (Al-Qadha’ wal-Qadar).
Secara etimologis Qadha’ adalah bentuk mashdar dari kata kerja qadha yang berarti kehendak atau ketetapan hukum. Dalam hal ini Qadha’ adalah kehendak atau ketetapan hukum Allah SWT terhadap segala sesuatu.
 Sedangkan Qadar secara etimologis adalah bentuk mashdar dari qadara yang berarti ukuran atau ketentuan. Dalam hal ini Qadar adalah ukuran atau ketentuan Allah SWT terhadap segala sesuatunya.
Secara terminologis ada Ulama yang berpendapat kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, dan ada pula yang membedakannya. Yang membedakan, mendefinisikan Qadar sebagai: “Ilmu Allah SWT tentang apa-apa yang akan terjadi  pada seluruh makhluk-Nya pada masa yang akan datang”. Dan  Qadha’ adalah: “penciptaan segala sesuatu oleh Allah SWT sesuai dengan Ilmu dan Iradah-Nya”. Sedangkan Ulama yang menganggap istilah Qadha’ dan Qadar mempunyai pengertian yang sama memberikan definisi sebagai berikut: “Segala ketentuan, undang-undang, peraturan dan hukum yang ditetapkan secara pasti oleh Allah SWT untuk segala yang ada (maujud), yang mengikat antara sebab dan akibat segala sesyatu yang terjadi.” Sebagai contoh kita kutip beberapa ayat sebagai berikut:
“ Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.” (Ar-Ra’d 13:8).
“ Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (At-Thalaq 65:3).
B.     BEBERAPA TINGKATAN TAKDIR
Takdir atau Qadar mempunyai empat tingkatan:
1.      Al-Ilmu
Allah SWT Maha Mengetahui segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang telah terjadi,yang sedang terjadi dan yang akan terjadi. Tidak satu pun luput dari ilmu Allah SWT. Allah SWT berfirman:
“Apakah kamu  tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja di langit dan di bumi?”  (Al-Haj 22:70).
2.      Al-Kitabah
Allah SWT Yang Maha Mengetahui telah menuliskan segala sesuatu di Lauh Mahfuzh, dan tulisan itu tetap ada sampai hari Kiamat. Apa yang terjadi pada  masa lalu, dan apa yang terjadi sekarang, dan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang sudah di tuliskan oleh Allah SWT di Lauh Mahfuz. Allah berfirman:
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanyayang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuz ). Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.” (Al-Haj 22:70).
3.      Al-Masyi-ah
Allah SWT mempunyai kehendak terhadap segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali atas kehendak-Nya. Apa-apa  yang di kehendaki Allah pasti akan terjadi. Dan apa-apa yang tidak di kehendaki Allah SWT pasti tidak akan terjadi.(Al-Insan 76:30)
4.      Al-Khalq
Allah SWT menciptakan segala sesuatu. Segala sesuatu selain Allah Yang Maha Menciptakan adalah makhluk.(Az-Zumar 39:62)
                Iman kepada Takdir mencakup empat tingkatan di atas. Artinya  segala perbuatan, perkataan termasuk segala hal yang tidak dilakukan manusia diketahui,di tuliskan, di kehendaki, dan diciptakan oleh Allah SWT.
C.    HUBUNGAN TAKDIR DAN DO’A
Allah Maha Bijaksana dan Maha Perencana sesuai dengan kehendak dan kekuasaan-Nya. Ia bersifat Mengetahui, dan Maha Adil. Apa saja yang telah terjadi dan yang akan terjadi pada makhluk-Nya tidak lepas dari ilmu dan ketentuan Allah Yang Maha Bijaksana itu. Semua yang terjadi dalam alam semesta ini berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan-Nya, “...Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.” (QS 13:8).
            Di samping Allah Maha Bijaksana, Allah juga bersifat Maha Pemurah (Rahman) dan Maha Penyayang (Rahim). Dengan sifat-sifat kemuliaan Allah yang demikian itu agaknya kita menjadi optimis bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha dan amal manus ditentukania. Akan tetapi sebaliknya Dia dalam memutuskan sesuatu dan memberikan ukuran yang telah  ditentukan itu tidaklah didorong atau di perintah oleh siapa pun, bahkan segalanya ini di ciptakan menurut kehendak-Nya dengan aturan-aturan yang Ia juga pembuatnya.
            Aturan-aturan Allah itu sebagian kecil dapat diketahui manusia dan sebagian besar belum diketahui bahkan mungkin menjadi rahasia Allah. Aturan-aturan Allah ada yang diwahyukan kepada Nabi dan Rasul-Nya kemudian dibukukan berupa “kitab”, ada pula yang tidak tertulis berupa gejala dan fenomena alam yang disebut dengan “Hukum Alam” (sunatullah). Apa yang trtulis berupa kitab itu kadang-kadang ada makna tersirat yang belim/tidak sepenuhnya dapat ditangkap oleh manusia.
            Karena keterbatasan ilmu manusia ini sering muncul perasaan ragu pada diri orang-orang tertentu dalam memahami keimanan terhadap takdir ini. Apakah Allah Adil telah mentakdirkan nasib seseorang, umpamanya dalam rangka memahami QS.37:96 :
“Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS.37:96).
            Keputusan Allah itu senantiasa menurut kadar yang telah di tentukan. Salah satu ketentuan Allah umpamanya adalah jika hamba-Nya berdo’a akan diperkenankan:
“ Dan apabila hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku,  maka hendaklah mereka  itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu dalam kebenaran.”(QS 2:186).
Ayat di atas menjelaskan kepada kita sebagai hamba-Nya bahwa:
1.      Allah itu dekat. Dalam QS.50:16 disebutkan bahwa Allah lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya.
2.      Allah akan mengabulkan siapa yang berdo’a kepada-Nya. Ayat ini berlaku umum, tidak pandang apa kedudukannya, besar kecil, tua muda, pria dan wanita. Baik itu orang alim atau orang awam, jika do’a itu ditujukan semata kepada Allah niscaya akan dikabulkan.
D.    TAKDIR DAN IKHTIAR
Dalam  memahami sebagian ayat Al-Qur’an seperti (QS.37:96;8:17; dan 9:51) seakan-akan manusia tidak memiliki pilih dan kebebasan (ikhtiar) sama sekali. Tanpa memperhatikan ayat yang lain, akan muncul keraguan yang menggoyahkan iman terhadap takdir, dan mungkin menganggap Allah sebagai tak adil. Allah yang menentukan (menakdirkan) seseorang untuk melakukan maksiat umpamanya, lalu Allah pula yang akan mengganjarnya dengan siksa. Apakah ini adil? Akan tetapi coba perhatikan sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Jabir ra. Sebagai berikut:
            “Pada akhir zaman nanti akan ada suatu golongan yang berbuat kemaksiatan, kemudian mereka berkata: “Allah mentakdirkan perbuatan itu kita lakukan”. Orang yang menentang pendapat mereka (yang salah) pada zaman itu adalah bagian orang yang menghunus pedangnya fi sabililah.”
            Takdir itu sama sekali tidak boleh dianggap sebagai jalan bertawakal (berserah diri) yang tidak sewajarnya, tidak boleh pula dijadikan alasan untuk melakukan kemaksiatan, bahkan tidak boleh diartikan sebagai suatu paksaan Tuhan terhadap hamba-Nya. Sebaliknya takdir haruslah dianggap sebagai jalan untuk meyakinkan tujuan-tujuan atau cita-cita yang besar dari sekian banyak macam amal perbuatan yang besar pula. Dari situ dapat dipahami bahwa takdir itu dapat ditolak dengan takdir, misalnya adanya takdir rasa lapar (kalau tidak makan) dapat dilawan dengan takdir makan, takdir rasa dahaga dilawan dengan takdir minum sampai puas, dan takdir sakit dapat dilawandengan takdir pengobatan sampai sehat kembali. Begitu pula takdir kemalasan dilawan dengan takdir kegiatan serta kegairahan bekerja.
            Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci,bersih dan murni), lalu dengan kebebasan yang diberikan kepadanya ia boleh saja memilih jalan mana yang hendak dia tempuh:
            “Dan Kami (Allah) memberikan petunjuk kepada manusia dua jalan.”(QS. 90:10)   “Sesungguhnya Kami (Allah) telah memberikan petunjuk kepada manusia itu akan jalan yang ditempuhnya (untuk mencapai kebaikan), tetapi adakalanya manusia itu berterima kasih dan adakalanya manusia itu bersikap kufur (menutupi kenikmatan yang dilimpahkan kepadanya).” (QS. 76:3)
            Manusia wajib berikhtiar dan berusaha untuk menentukan perubahan nasib menurut rencananya, sekuat dan kemampuan budinya. Manusia harus Nya, maupun mempelajari ilmu alam sebagai ilmu Allah (Sunnatullah) yang terhampar luas di sekitar kita. Berusaha dan berikhtiar merupakan kewajiban manusia, tetapi Allahlah yang menentukan hasil akhir dari manusia itu. Manusia hanya dapat menerima segala apa yang terjadi sebatas kemampuan yang dimiliki.
            Di dalam Al-Qur’an Allah telah menggariskan  hukum-hukum-Nya yang  sejalan dengan hukum yang berlaku secara alamiah (sunnatullah), seperti:
1.      Tiap diri akan diberi balasan tentang apa yang dikerjakan dengan pembalasan yang setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.(QS. 3:162; 14:51; 45:22)
2.      Musibah apa pun yang menimpa manusia selalu ada hubungannya dengan hasil perbuatan manusia.
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. 42:30)
3.      Allah telah menyediakan kelengkapan hidup di dunia, tergantung manusia, bagai
mana ia mempergunakan sumber penghidupan tersebut.
“ Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber penghidupan) amat sedikitlah kamu yang bersyukur.”( QS. 7:10)
4.      Kenikmatan dan musibah yang menimpa manusia merupakan ujian Allah terhadap manusia:
a.       Nikmat sebagai ujian (QS.39:49; 68:17)
b.      Hidup dan mati sebagai ujian (QS. 67:2)
c.       Harta dan keturunan sebagai ujian (QS. 8:28; 18:7; 64:15)
d.      Kekurangan harta sebagai ujian (QS. 2:155)
e.       Kaya dan miskin sebagai ujian (QS. 89:15-17)
f.       Kebaikan dan keburukan sebagai ujian (QS. 21:35)
5.      Kehidupan ini selalu terdiri dari rangkaian kesulitan dan kemud ahan. Bagi orang yang beriman kepada takdir selalu sabar dan tawakal menghadapi kesulitan dan bersyukur tatkala menghadapi kemudahan atau memperoleh kenikmatan.
“ Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS. 94:5-8)
            Takdir itu ibarat suatu jembatan penyeberangan. Manusia boleh berikhtiar dan memilih sisi mana dari jembatan itu yang hendak dilalui. Pilihan itu tetap terbatas di dalam jembatan. Ia tidak bisa lewat atau keluar dari batas-batasnya. Demikian barangkali salah satu cara memahami umpamanya QS. 18:28-29 dan QS. 16:93 yang berbunyi:
“(Yaitu) bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah. Tuhan semesta alam.” (QS. 81:28-29)
“... Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. 16:93)
            Kehendak manusia (yang bebas) tidak akan tercapai kecuali harus mengikuti salah satu dari dua jalan yang sudah ditentukan oleh kehendak dan iradat Allah. Namun demikian. Ia tetap berkehendak agar manusia itu memilih salah satu antara dua jalan yang masin-masin itu boleh dengan sesuka hatinya ditempuh dan dilalui yaitu jalan petunjuk dan jalan sesat.
            Kalau manusia itu memilih jalan pertama yang berupa petunjuk dan hidayah maka itu pun tetap termasuk dalam lingkungan kehendak Ilahi jua dan kalaupun ia memilih jalan kedua yakni kesesatan, maka itu pun termasuk pula dalam lingkungan kekuasaan-Nya.
            Baik hidayah (petunjuk) maupun dlalalah (kesesatan) merupakan hasil natijah atau akibat dari hal-hal yang telah dilakukan, umpamanya api panas, dan siapa yang terjun kedalam api ia akan terbakar. Petunjuk atau hidayah adalah buah atau hasil dari amal perbuatan yang baik dan saleh, sedang kesesatan atau dlalalah adalah buah atau hasil dari amal perbuatan yang buruk.
            Jadi, disandarkannya pengertian hidayah dan dlalalah pada Allah SWT itu tujuannya hanyalah sebagai kiasan bahwa Dialah yang meletakkan penertiban sebab-sebab dan akibat-akibat yang timbul dari sebab-sebab itu. Bukan sekali-kali bermaksud bahwa Dia memaksakan manusia untuk pasti memperoleh petunjuk tanpa ada sebab-sebab yang dilakukan. Yang demikian itu tentulah kezaliman. Mahasuci Allah SWT dari perbuatan yang demikian.
            Untuk memahami hal ini lebih sempurna lagi, marilah kita telaah ayat-ayat berikut sebagai imbangan:
“Allah memberi petunjuk kepada orang-orang kembali (bertaubat) kepada-Nya.” (QS. 13:27
“Orang-orang yang berjihad untuk membela agama kami, pasti kami tunjukkan jalan-jalan Kami (yang benar).” (QS. 29:69)
Sucikanlah nama Tuhanmu yang paling tinggi yang menciptakan dan yang menyempurnakan (penciptaan-Nya) dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.”(QS. 87: 1-3)
“Orang-orang yang mengikuti pimpinan yang baik. Allah tambah petunjuk untuk mereka dan kepada mereka diberikan pula sifat taqwa.”(QS. 47:17)
“Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk.” (QS. 92:12)
“...Allah tidak memberi petunjuk bagi orang-orang zalim.” (QS. 2:258)
“...Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.” (QS. 2:26)
E.     KEMISKINAN BUKAN TAKDIR
            Kemiskinan dan kelaparan yang menimpa umat manusia sesungguhnya terjadi oleh manusia sendiri yang tidak mensyukuri nikmat pemberian Allah kepada umat manusia, baik berupa kecerdasan akal yang dimilikimya maupun potensi alam disekitarnya. Abu Hamid al-Ghazali mengatakan, bersyukur tidak lain kecuali mendayagunakan pemberian Allah. Tanda seorang yang bersyukur adalah dibuktikan pada kemampuanmu untuk menggunakan apa saja yang ada dalam kehidupannya secara kreatif, guna mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan bersama. Jika seseorang dianugerahi kecerdasannya dipakai untuk mengubah kehidupan menjadi lebih baik kemiskinan bukanlah nasib atau takdir Tuhan, sebab Tuhan tidak menghendaki manusia hidupnya sengsara dan memiskinkan kehiduoan manusia yang diciptakan-Nya sendiri, dan oleh sebab itulah manusia diberi-Nya akal, daya kekuatan dan kemampuan untuk mengubah kehidupannya, serta diberi-Nya pula pedoman hidup agar tidak sesat jalan, yaitu Kitab Suci yang diturunkan-Nya kepada manusia, bahkan manusia diangkat-Nya pula sebagai khalifah atau wakil Tuhan di bumi, untuk memakmurkannya.
            Secara tegas Al-qur’an dalam surat Al-Baqarah ayat 268 mengatakan:
“Syaitan menjanjikan kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat jahat, sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia (kekayaan dan balasan pahala). Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
            Pada ayat lain, dalam surat ar-Ra’du ayat sebelas mengatakan:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
            Oleh karena itu fenomena kaya miskin seperti yang terlihat dan tampak dalam kehidupan bangsa-bangsa di dunia ini, pada dasarnya disebabkan oleh kemampuannya kepada penguasaan pengetahuan konseptual melalui pengembangan konseptual melalui pengembangan ilmu dan teknologi, serta pada kemampuan mewujudkannya, dan mengembangkan manajemen yang profesional .Dan kemampuan itu sesungguhnya ditentukan oleh usaha keras dari bangsa kita sendiri.
F.     Apakah Anda Pasrah Pada Tuhan Atau Pasrah Pada Realitas?
Apa saja kehendak Tuhan itu?
Terkait dengan pembahasan ini, ada satu hal lagi yang perlu kita audit di dalam diri, yaitu: Apakah kita sudah pasrah kepada Tuhan ataukah kita telah pasrah pada realitas? Dalam praktek sehari-hari, perbedaan kedua bentuk kepasrahan ini kerap kali tidak terlihat. Namun begitu, hasilnya atau efeknya sangat jelas bagi masing-masing orang. Kalau kita pasrah pada realitas sudah pasti hidup kita kalah. Sebaliknya, kalau kita pasrah pada kehendak Tuhan, sudah pasti hidup kita menang, meskipun kita harus menghadapi realitas buruk untuk sementara waktu.
            Apa saja kehendak Tuhan itu? Bagaimana mengetahuinya? Tentu saja tidak bisa didetailkan satu per satu. Ini karena saking banyaknya. Hanya saja kalu kita mau pakai istilah-istilah kunci yang sudah umum kita ketahui, rasanya akan dengan mudah kita bisa mengetahui kehendak Tuhan.
            Pertama, Tuhan menciptakan surga dan neraka istilah ini menjelaskan bahwa surga adalah balasan atau tempat bagi manusia yang timbangan kebaikannya melebih timbangan kejahatanya; manusia yang taat, manusia yang positif. Sedangkan neraka adalah tempat bagi manusia yang timbangan kejahatannya melebihi timbangan kebaikannya. Kalau bicara kehendak, maka Tuhan menghendaki manusia masuk surga. Ini dibuktikan dengan diturunkannya para nabi, kitab-kitab suci, larangan dan perintah, kabar baik dan kabar buruk.
“Telah Kuciptakan Khair (kebaikan) dan syar (kejelekan). Berbahagialah orang yang Ku-takdirkan memperoleh khoir dan celakalah orang yang telah Ku-Takdirkan memperoleh syar dengan tangannya.” (Hadist Qudsi riwayat At-Thabrani)
            Kedua , Tuhan menghendaki kehidupan yang mudah dari kita. Seperti apa kehidupan yang mudah itu? Kalau mau jujur, hal-hal yang paling mudah kita lakukan adalah hal-hal positif. Sebaliknya , hal-hal yang berat kita lakukan adalah hal-hal negatif.
            Ketiga, Tuhan menciptakan dua dorongan di dalam diri manusia. Menurut penjelasan Nabi, dorongan yang pertama memotifasi kita untuk melakukan hal-hal positif (suara malaikat), sedangkan dorongan yang kedua memotifasi kita untuk melakukan hal-hal negatif (suara setan).
            Pada saat kita menghadapi realita buruk, menghadapi nasib buruk atau hal-hal yamg tidak kita inginkan, apa yang kita lakukan? Rencana apa yang pasti akan kita jalankan? Kebiasaan apakah yang kita lakukan? Jika yang muncul adalah kecenderungan untuk membiarkan, mengabaikan, atau memasrahkan, hanya menyalahkan atau hanya menuding, maka yang kita lakukan sebetulnya adalah pasrah pada realitas (mentalitas lemah). Kalau ini berlanjut pada keputusasaan atau memunculkan dorongan yang kuat untuk melakukan pelanggaran dan penyimpangan, maka kita sudah pasrah pada kehendak setan ( mentalitas rusak).
            Pasrah pada realitas dalam pengertian mentalitas lemah itu meski terkadang tidak melanggar kebenaran atau tidak dosa, tetapi pahala kita sedikit, resource kita sedikit, power kita sedikit, kemulian kita sedikit, prestasi kita sedikit. Ditolak atau diterima, kalau prestasi kita sedikit maka posisi kita dalam  praktek hidup ini juga lemah. Ini pun sudah merupakan takdir Tuhan.
            Jadi pasrah pada kehendak Tuhan saat menghadapi realitas buruk maksudnya adalah:
1.      Memilih pikiran yang positif.
2.      Memilih sikap mental yang positif.
3.      Memilih cara yang positif.
4.      Memilih tindakan yang positif.
5.      Memilih patner yang positif


DAFTAR PUSTAKA
Asy’arie, Musa, 2002. Dialektika Agama untuk Pembebasan Spiritual, Yogyakarta: LESFI (Lembaga Studi Filsafat Islam).
HD, Kaelany,2002. Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Ilyas, Yunahar,2013. Kuliah Aqidah Islam, Yogyakarta:LPPI(Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam).
Ubaedy, AN,2007. Mengubah Takdir, Jakarta: Media Sukses.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar